Di tengah suasana penuh haru, Toifatul Hauro, salah satu mahasantri angkatan pertama Ma’had Aly Andalusia, melangkah menuju prosesi wisuda dengan penuh rasa syukur. Momen ini tidak hanya bermakna bagi dirinya tetapi juga bagi semua yang telah mendampingi perjalanannya. Ia menganggap wisuda ini sebagai awal dari sebuah amanah besar—seperti janji yang diikrarkan dalam prosesi wisuda—yang harus dijaga dan diemban dengan penuh tanggung jawab.
Bagi Toifatul Hauro, momen paling berkesan selama empat tahun di Ma’had Aly adalah saat mengaji kitab Audhohul Masalik di hadapan Abah Anam. Setiap pertemuan dipenuhi dengan kesungguhan, bahkan tak jarang disertai air mata, demi memahami ilmu yang disampaikan. Usaha ini ia lakukan dengan tujuan agar tidak mengecewakan sosok Abah dan Nyai Rodhiyah Ghorro, yang telah mendidiknya dengan sepenuh hati. Dalam setiap pengajian, Toifatul Hauro merasakan bahwa menuntut ilmu bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk cinta dan ketulusan yang mendalam.
BACA JUGA :
- Fatimah Al-Fihri: Perempuan di Balik Universitas Tertua di Dunia
- Webinar Perdana Ma’had Aly Andalusia Tanamkan Semangat Santri Kreatif dan Literatif di Era Digital
- Penutupan PPL Ma’had Aly Andalusia 2025: Gus Hilmy Tekankan Teladan dan Kedisiplinan Guru
Ia mengaku bahwa kembali ke Ma’had Aly Andalusia adalah keputusan besar. Meski sempat terdaftar di universitas di Yogyakarta, ia memilih untuk berkhidmah di Andalusia. “Membersamai Abah dan Bunyai adalah anugerah terindah bagi saya,” ungkapnya dengan syukur. Rasa kagum dan bangga itu tetap bertahan hingga saat ini.
Toifatul Hauro merasakan manfaat besar dari metode sorogan yang diterapkan Abah Anam. Dalam metode ini, setiap mahasantri dituntut untuk sempurna dalam memahami dan membaca kitab, seolah tak ada ruang bagi kesalahan. “Abah benar-benar mendidik kami untuk memahami kitab dengan baik,” tuturnya. Di luar pengajian formal, Abah memberikan kebebasan belajar yang mengikuti minat dan kemampuan mahasantri, namun ketika di hadapannya, mereka harus mencapai kesempurnaan dalam memahami pelajaran.



Dalam perjalanannya di Ma’had Aly, tantangan terbesar yang dihadapi adalah menjaga keseimbangan antara tugas belajar dan khidmah di Andalusia. Baginya, menjalankan dua kewajiban ini membutuhkan kesungguhan. “Saya berusaha tidak memprioritaskan satu atas yang lain,” katanya, “tetapi tetap menjalankan keduanya dengan sebaik-baiknya.”
Selain belajar di kelas, Toifatul Hauro juga memiliki pengalaman berharga saat menjadi anggota DEMA Ma’had Aly, sebuah pengalaman yang menempanya menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Dalam rapat-rapat, Abah sering mengingatkan pentingnya tanggung jawab sebagai seorang santri dan mahasantri.
Sebagai bagian dari angkatan pertama, Toifatul Hauro menyaksikan perkembangan pesat yang terjadi di Ma’had Aly dalam empat tahun terakhir. Ia berharap, Ma’had Aly Andalusia ke depan dapat menjadi kiblat pendidikan, tidak hanya sebagai lembaga pencetak cendekiawan, tetapi juga insan yang berakhlak mulia dan siap mengabdi. Dalam pandangannya, mahasantri adalah sosok yang disorot, yang menjadi teladan bagi adik-adik di tingkat Tsanawiyah dan Aliyah.Di tengah tantangan, Toifatul Hauro kerap teringat akan dawuh Abah yang selalu terpatri dalam hatinya
: “محبة الشيخ مقدمة لمحبة رسول الله ومحبة رسول الله مقدمة لمحبة الله”, yang berarti “Mencintai guru adalah awal dari mencintai Rasulullah, dan mencintai Rasulullah adalah awal dari mencintai Allah.” Kalimat ini menjadi pegangan dalam menuntut ilmu, meneguhkan hatinya agar terus mencintai ilmu dengan ketulusan, berharap mahabbah yang ia miliki kepada guru-gurunya kelak akan menghantarkannya pada mahabbah kepada Allah.
Ke depan, Toifatul Hauro berkeinginan untuk terus berkhidmah bagi Andalusia, dengan harapan ilmu dan pengalaman yang ia peroleh dapat memberi manfaat dan menjadi bekal yang berharga dalam mengabdi untuk masyarakat.

BACA JUGA ;
Tinggalkan Balasan