Tirai malam 21 Juni 2025 membuka panggung bersejarah di Andalusia. Dalam Haflah Akhirussanah ke-12 Pondok Pesantren At-Taujieh Al-Islamy 2 Andalusia, untuk pertama kalinya para santri putri berdiri sebagai garda pembuka. Sebuah keberanian yang lahir dari pengorbanan panjang dan bukan tanpa cerita.


Acara dibuka dengan lantunan ayat suci dan sambutan pembuka. Namun begitu sorot cahaya panggung menyala, aura berbeda menyeruak. Dentuman beatbox menggugah, gerak robot dance yang tajam, atraksi silat dan bendera, hingga tarian nusantara yang lebur dalam satu harmoni. Semua berpadu dengan monolog Ibu Kartini dan Fathimah Al-Fihri, menghidupkan suara perempuan dari masa lalu hingga kini. Dan sebagai penutup, lagu “Merakit” dilantunkan dalam bahasa isyarat, seolah membisikkan bahwa keterbatasan pun punya ruang untuk bersinar.


Usai kemegahan itu, tim jurnalistik Ma’had Aly Andalusia mendapat kehormatan untuk mewawancarai dua arsitek di balik layar: Syifa Sabrina dan Raudhotus Sholihah, mahasantri Sanah 2, yang menjadi Penanggung Jawab Grand Opening Putri perdana ini.
Meski terkesan megah di panggung, lahirnya konsep ini justru penuh kejutan. Syifa mengungkap, penunjukannya sebagai PJ adalah momen mendadak yang tak direncanakan. “Aku awalnya PJ Saman, tapi tiba-tiba ditarik jadi PJ Grand Opening. Malam Sabtu ditunjuk, malam Jumat sudah harus rapat bawa konsep. Ganti konsep? Berkali-kali. Bahkan H-3 minggu pun masih berubah,” kenangnya.


Ia pun menggandeng Raudhoh, bukan tanpa alasan. “Aku butuh partner yang tidak hanya kreatif, tapi juga berani mengkritik. Aku nggak mau punya tim yang cuma iya-iya aja. Dan Roudhoh, menurutku, sangat tahu kapan harus setuju dan kapan harus bersuara,” tutur Syifa, dengan nada yakin namun penuh haru.
Konsep awal Grand Opening sebenarnya mengangkat tema ilmiah tentang Andalusia, namun bergeser setelah berdiskusi dan mempertimbangkan efektivitas tampilan. Lalu, pilihan berlabuh pada “Jejak Cahaya Wanita dan Warisan Ilmu”. Dari situ, lahir gagasan mengangkat tokoh-tokoh perempuan hebat: dari Fathimah Al-Fihri, RA Kartini, hingga sosok-sosok bunyai masa kini.


Penggabungan unsur beatbox, robot dance, dan lightstick semula dinilai tidak nyambung oleh sebagian orang. Tapi bagi mereka, justru di situlah kekuatan tema Haflah yang penuh “kompetensi digital” dibingkai dalam ekspresi seni.
“Aku ingin menampilkan potensi santri yang jarang terekspos. Dan itu tidak harus selalu dalam bentuk klasik,” ungkap Syifa tegas.
Persiapan dimulai bahkan sebelum Ramadhan. Pendaftaran dibuka, seleksi digelar. Dari 210 pendaftar, hanya 87 yang terpilih. Peserta Grand Opening tidak diizinkan ikut pensi lain demi menjaga kualitas dan fokus. Penugasan per “sense” dibantu oleh mutakhorijat, sebagai bentuk regenerasi. “Sekalian, kalau aku dan Raudhoh udah nggak kuat lagi megang GO, mereka bisa jadi tulang punggung selanjutnya,” canda Syifa ringan, menutupi kelelahan yang berat. Tantangan terbesar menurutnya adalah menyelaraskan konsep agar tetap meriah namun tetap sopan. Ia bahkan sempat ragu apakah Grand Opening perdana ini akan bisa diterima ndalem. Namun semua kekhawatiran itu berubah menjadi keyakinan setelah gladi dan pembinaan mendalam.
Sementara itu, dari Raudhotus Sholihah, yang mengelola aspek teknis dan pengawalan akhir tercermin kesabaran, strategi, dan daya tahan. Salah satu yang paling mendebarkan adalah ketika lagu harus diganti mendadak karena terkena copyright, bahkan sehari sebelum tampil. “Hari Jumat pagi, harusnya udah tenang, tapi kita malah masih latihan. Tapi alhamdulillah, semua evaluasi dari panitia pusat justru membuat semangat anak-anak makin menguat. Mereka saling koreksi, saling kuatkan,” kata Raudhoh.
Penampilan lagu “Merakit” dengan bahasa isyarat adalah puncak emosional. Raudhoh menilai, itu adalah simbol bahwa siapa pun, dengan keterbatasan apa pun, berhak bermimpi dan bangkit. “Kami ingin menyampaikan bahwa cita-cita tak punya syarat fisik. Bahkan mereka yang dianggap tak sempurna pun punya hak untuk membangun masa depan,” ucapnya. Bagi mereka berdua, malam itu adalah jawaban dari ratusan jam latihan, benturan waktu dengan ujian, dan kompromi atas kritik. “Aku lihat keluarga ndalem tersenyum, penonton antusias, dan peserta puas. Meski kurang sempurna, tapi itu adalah hasil dari kerja keras semua pihak,” ujar Raudhoh lembut.
Dan yang paling menyentuh, mereka ingin ini menjadi bukti bahwa perempuan pesantren tidak hanya bisa, tapi mampu memimpin, menggagas, dan mempersembahkan yang terbaik. “Kalau kita hanya pasrah pada simpati ‘ini yang pertama, nggak papa nggak perfect’, maka tak akan pernah ada loncatan. Tapi saat kita bergerak dengan segala kekacauan dan kekurangan, itulah kita melahirkan sesuatu yang lebih kuat,” pungkas Syifa.
Malam itu bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah saksi bahwa santri putri bisa jadi pionir, bisa berdiri di baris terdepan tanpa kehilangan adab dan ruhnya. Dan Grand Opening ini, dengan segala peluh, tangis, dan bangkitnya, akan terus dikenang sebagai malam di mana seribu napas perempuan menggema di langit Andalusia.
Kabar Terkini dari Ma’had Aly Andalusia Leler Banyumas
Ikuti perkembangan terbaru seputar akademik, kegiatan santri, dan dinamika organisasi di Ma’had Aly Andalusia melalui website resmi: maalyandalusia.ac.id. dan malyjurnalistik.com
Temukan informasi aktual, artikel inspiratif, dan liputan kegiatan langsung dari sumbernya. Jangan lupa ikuti juga media sosial kami untuk update cepat dan konten menarik setiap harinya.
follow Media Sosial
Tinggalkan Balasan