Di antara gemuruh riuh panggung Haflah Akhirussanah ke-12 Pondok Pesantren At-Taujieh Al-Islamy 2 Andalusia, terdapat satu penampilan yang tak sekadar menyentuh mata, tetapi mengguncang batin: Ratoh Jaroe. Tarian khas Aceh yang menggema dari panggung perempuan ini bukan sekadar rutinitas haflah tahunan, melainkan perwujudan tekad, eksperimen, dan ketegangan yang nyaris tak terlihat oleh penonton. Di balik gerakan yang tampak seragam dan harmonis itu, tersembunyi kisah yang hanya bisa dibisikkan oleh peluh, harap, dan ketegangan di ujung waktu.


Adalah Nabilatunnisa dan Umi Umayah, dua mahasantri putri Andalusia yang berdiri sebagai penanggung jawab tarian ini. Keduanya bukan hanya mengatur barisan, tapi juga memikul harapan, bahwa budaya tak boleh mati, bahwa gerakan harus berarti, dan bahwa perjuangan harus hadir dalam diam. Keterlibatan mereka bukan tanpa alasan. Bagi mereka, Ratoh Jaroe adalah wujud mimpi agar tarian ini terus tumbuh, tak statis, dan mampu menampilkan wajah baru setiap tahunnya.

Konsep tak lahir begitu saja. Ia disarikan dari diskusi-diskusi kecil yang dibumbui kegelisahan. Ingin mencoba yang baru meski ada resiko gagal, ingin mengubah meski ada suara sumbang yang meragukan. Latihan pun dimulai jauh hari, dalam gelap malam selepas kegiatan pondok. Mereka meminta waktu khusus, menyusun barisan, mencipta konsep gerak, dan menyesuaikan dengan luangnya waktu santri. Di tengah keterbatasan, lahirlah sebuah inovasi: gerakan baru yang dipoles selaras, lirik baru yang diteliti maknanya, dan konsep dasar gerak yang dirombak halus agar menyatu dalam alur yang rapi. Semua itu dilakukan demi menjaga cita rasa tradisi tanpa membiarkannya beku di tempat.
Namun latihan bukan dongeng indah. Di balik serempaknya tangan yang diayun ke kiri dan kanan, ada kisah murid yang mundur karena merasa tertekan, ada perdebatan antara pelatih karena salah komunikasi, ada ekspresi kecewa yang ditelan demi menjaga semangat tim. Sepuluh menit sebelum tampil, alat musik pengiring hilang dari ruang transit. Panik menyergap. Namun tangan-tangan ikhlas dari berbagai pihak bergerak cepat menyelamatkan, dan tarian pun akhirnya tetap mengalun dengan anggun.


Semua itu ditenun dengan keteguhan. Mereka, para pelatih, tak hanya melatih gerakan, tapi menyelami isi wajah setiap penari: bagaimana senyumnya? bagaimana sorot matanya? bagaimana ia mengungkapkan apa yang dirasa dalam diam? Di setiap awal latihan, para pelatih berdiri bukan hanya sebagai guru, tapi penjaga semangat. Mereka mengulang koreksi, membenarkan kesalahan, dan menyalakan kembali nyala yang nyaris padam.
Dan malam itu, ketika semua telah siap, ketika gerakan paling rumit di bagian pembuka dan tengah tampil nyaris sempurna, tak ada yang bisa menahan rasa lega. “Kami sempat ragu, tapi keyakinan itu kami paksakan tumbuh,” kata mereka. Di balik ketukan tangan, Ratoh Jaroe menyimpan nasihat. Liriknya bukan main-main. Ia tentang nyawa, tentang tubuh yang hanya pinjaman, tentang hidup yang sementara. Tak heran jika penampilan ini terasa begitu dalam. “Beramallah siang dan malam, karena nyawamu hanya dititipkan oleh Tuhan,” begitulah makna yang tersembunyi dalam bait-bait Aceh yang tak semua orang pahami, tapi semua orang bisa merasakannya.
Pembina dan pelatih menjadi kunci yang tak bisa dilepas. Mereka bukan sekadar pengatur jadwal. Mereka adalah mata yang memantau kesalahan, tangan yang memberi contoh, dan ruh yang menjaga keutuhan arah. Maka ketika tepuk tangan membuncah malam itu, bukan hanya penonton yang bersyukur. Di balik panggung, ada air mata yang ditahan, ada tubuh yang gemetar, ada rasa yang akhirnya tuntas.
Andalusia telah membuktikan, bahwa pesantren bukan sekadar tempat tafsir dan qowaid. Ia juga rahim budaya. Ratoh Jaroe menjadi buktinya. Tarian yang dahulu hanya tampil seadanya, kini berdiri gagah dengan lebih dari seratus pasang tangan yang menyatu dalam gerakan. Kekompakan, kedisiplinan, dan solidaritas dilatih, bukan hanya di atas panggung, tapi juga dalam hidup sehari-hari.
Ratoh Jaroe bukan hanya gerakan, tapi perlawanan terhadap hilangnya tradisi. Dan bagi mereka yang menjadi penggerak di balik layar, ada satu pesan yang disampaikan: jangan pernah hilangkan ayunan tangannya, jangan pudar makna liriknya, dan jangan lupa tujuan awal kenapa ia hadir di Andalusia. Karena dari setiap ayunan itu, ada doa yang diucap tanpa kata. Ada semangat yang tak bisa dibaca, tapi terasa. Dan ada cinta, yang bergetar dalam gerakan paling pelan.
Dan begitulah… malam itu usai. Tapi cerita Ratoh Jaroe belum selesai. Selama masih ada yang percaya pada makna dalam gerak, pada nasihat dalam lirik, dan pada kekuatan dalam kekompakan, Ratoh Jaroe akan tetap hidup. Di panggung. Di hati. Di sejarah Andalusia.
Sumber : Wawancara Bersama PJ Tari Ratoh Jaroe
- Nabilatunnisa
- Umi Umayyah
Kabar Terkini dari Ma’had Aly Andalusia Leler Banyumas
Ikuti perkembangan terbaru seputar akademik, kegiatan santri, dan dinamika organisasi di Ma’had Aly Andalusia melalui website resmi: maalyandalusia.ac.id. dan malyjurnalistik.com
Temukan informasi aktual, artikel inspiratif, dan liputan kegiatan langsung dari sumbernya. Jangan lupa ikuti juga media sosial kami untuk update cepat dan konten menarik setiap harinya.
follow Media Sosial
Tinggalkan Balasan