Pemahaman komprehensif dawuh Syaikhuna KH. Zuhrul Anam Hisyam ” Ngaji kue angel, mulane ngormati ilmu lan wong sing due ilmu, ben cepet futuh”
mahadalyandalusia – Tak ada yang meragukan, seorang guru adalah sosok yang dimuliakan dalam ajaran agama. Islam meletakkan kehormatan guru bukan sekadar adab sosial, melainkan sebagai keniscayaan bagi setiap murid. Perintah untuk memuliakan guru adalah mandat langsung dari Tuhan Yang Maha Kuasa tercermin dalam firmanNya di Al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad SAW.
Bahkan, telinga kita tak asing dengan mutiara kalimat yang berbunyi:
لولا المربي ما عرفت ربي
“Tanpa sang pendidik, aku tak akan mengenal Tuhanku.”
Ungkapan ini menyiratkan bahwa peran guru bukan hanya sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai pembuka jalan menuju Alloh SWT. Maka, ketika kita semua terutama para murid sepakat bahwa menghormati guru adalah suatu keharusan, lantas apa yang menjadi dasar kewajiban itu? Apakah terdapat dalil syar’i yang menegaskannya?
Lalu, apakah bentuk penghormatan itu bersifat mutlak bagi semua guru, ataukah ada tingkatan yang membedakan? Bagaimana bila dalam suatu kondisi, murid berbeda pendapat dengan gurunya, apakah itu menggugurkan rasa hormat? Di sinilah pentingnya membedah kembali dimensi etik dan syariat dalam memuliakan guru, serta memahami batas-batasnya secara dalam.
Kewajiban untuk menghormati guru merupakan perintah langsung dari ajaran Islam yang bersumber dari firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad SAW. Hal ini menunjukkan bahwa Islam menempatkan guru pada posisi yang sangat mulia bahkan dikatakan setingkat di bawah para nabi dan rasul. Sebab, keberadaan guru berkaitan erat dengan ilmu, sementara Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Salah satu bukti kuat akan penghargaan Islam terhadap ilmu dapat ditemukan dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Mujādilah ayat 11:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah; niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Mujādilah: 11)
Dalam ayat ini, Allah SWT sebagai Pencipta segala sesuatu, Tuhan semesta alam, dan Yang Maha Esa menyatakan secara eksplisit bahwa orang-orang berilmu akan diangkat derajatnya.
Menariknya Jika kita telaah secara linguistik, khususnya melalui pendekatan ilmu balāghah (retorika Arab), maka lafaz “درجاتٍ”(darajātin) menarik untuk disorot. Kata tersebut berbentuk jamak muannats sālim dan datang dalam bentuk nakirah. Dalam analisis balāghah, bentuk jamak ini menunjukkan jumlah yang banyak dan tak terbatas, sementara bentuk nakirah menunjukkan tafkhim yakni pengagungan atau penguatan makna.
Dengan demikian, makna yang komprehensif dari ayat ini adalah bahwa Allah SWT mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan derajat yang tinggi, mulia, dan agung, sebagai bentuk penghormatan atas ilmu dan orang yang mengajarkannya.
Menarik sekali ketika kita mampu memahami firman-firman Allah dan sabda-sabda Nabi dengan menggunakan perangkat ilmu agama yang komprehensif mulai dari berbagai cabang ilmu bahasa Arab hingga ilmu ushul fikih dan cabang-cabangnya. Dengan pendekatan ini, makna yang dikehendaki oleh Allah, baik melalui firman-Nya maupun sabda Nabi-Nya, akan tampak jelas dan gamblang. Pada paragraf selanjutnya, saya akan menggunakan pendekatan ilmu ushul fikih.
Dalam Al-Qur’an Surah Al-‘Alaq ayat 3, Allah SWT menyebut diri-Nya sebagai Al-Akram (الْأَكْرَمُ), yaitu Dzat Yang Maha Mulia. Sebutan ini tentu memiliki makna dan hikmah yang dalam. Mari kita telaah bersama. Setelah Allah menyebut diri-Nya sebagai Al-Akram, Dia berfirman:
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ
عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
Artinya: Bacalah! Tuhanmu-lah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. Al-‘Alaq: 3–5)
Jika kita perhatikan rangkaian ayat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Allah menyifati diri-Nya sebagai Dzat Yang Maha Mulia, dan kemuliaan itu dikaitkan dengan perbuatan mengajar, mengajar dengan pena dan mengajarkan manusia apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui.
Dengan pendekatan ushul fikih, kita bisa merujuk pada salah satu kaidah ushuliyah yang masyhur:
تَعْلِيقُ الحُكْمِ بِالْمُشْتَقِّ يُؤْذِنُ بِعِلِّيَّةِ مَا مِنْهُ الاِشْتِقَاقُ
Artinya: Mengaitkan hukum dengan kata sifat (isim musytaq) menunjukkan bahwa sebab hukum itu adalah makna yang terkandung dalam sifat tersebut.
Penerapan kaidah ini dalam konteks ayat tersebut adalah: sifat mulia (al-akram) dikaitkan dengan perbuatan ‘allama (mengajar). Artinya, kemuliaan tersebut berasal dari aktivitas mengajar. Allah menyebut diri-Nya sebagai Dzat Yang Maha Mulia karena mengajar manusia. Maka, siapa pun yang mengabdikan diri untuk mengajar, melayani ilmu, dan menghormati para ahli ilmu, akan memperoleh derajat kemuliaan. Setiap pengajar atau guru adalah sosok yang mulia.
Bagaimana sahabat? Sudah mulai lelah membaca? Memang, tulisan ini saya tunjukan sebagai ajakan untuk saya pribadi dan kita semua agar mau berpikir lebih dalam dan mencoba menerapkan apa yang telah kita pelajari baik dari madrasah hingga bangku kuliah bukan sekadar berlindung di balik ungkapan “sendiko dawuh”.
Tentu masih banyak ayat lain dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan para ahli ilmu. Namun, saya cukupkan dengan menyebut dua ayat saja. Sebagai penutup pembahasan pertama ini, saya akan mengutip sabda Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam Kitab Lubābul Ḥadīts karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi sebuah kitab yang memuat 400 hadis pilihan yang dikelompokkan ke dalam 40 bab disebutkan sabda Nabi Muhammad ﷺ berikut:
وقال النبي صلى الله عليه وسلم
من أكرم عالما فقد أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمأواه الجنة
Artinya: Barang siapa memuliakan seorang alim (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku. Barang siapa memuliakan aku, maka sungguh ia telah memuliakan Allah. Dan barang siapa memuliakan Allah, maka tempat kembalinya adalah surga.
Syaikhuna K.H. Zuhrul Anam Hisyam menjelaskan bahwa guru terbagi menjadi tiga macam:
- Syaikhu at-Ta‘līm
- Syaikhu at-Tarbiyah
- Syaikhu at-Tarqiyah
Syaikhu at-Ta‘līm adalah guru yang tugas utamanya menyampaikan ilmu pengetahuan. Ia berperan sebagai pengajar yang fokus pada aspek kognitif dan akademik semata.
Syaikhu at-Tarbiyah adalah pendidik sejati. Selain mengajar, ia juga membina karakter murid, mengajarkan adab, etika sosial, serta membimbing cara menjalani kehidupan dunia dan beribadah kepada Allah Swt.
Syaikhu at-Tarqiyah merupakan sosok yang menghimpun sifat-sifat dari dua tingkatan sebelumnya. Namun, sesuai dengan namanya, ia memiliki keistimewaan (maziyah) tersendiri, yaitu kemampuan untuk mengangkat derajat spiritual seorang murid. K.H. Zuhrul Anam Hisyam pernah menceritakan kisah seorang murid yang sangat mencintai kehidupan dunia. Namun ketika murid tersebut menghadap seorang syaikh dan ditatap oleh sang syaikh, seketika lenyaplah kecintaannya terhadap dunia. Itulah kekuatan ruhani seorang Syaikhu at-Tarqiyah. Kepada ketiga macam guru tersebut, sudah sepantasnya kita menunjukkan rasa hormat yang tinggi tanpa membedakan satu dengan yang lain.
Lalu, bagaimana sikap yang tepat ketika kita tidak sejalan dengan guru dalam cara berpikir dan berpendapat? Haruskah kita tetap tunduk, meski hati diliputi rasa keberatan dan penolakan?
Untuk menjawab hal ini, saya berpegang teguh pada nasihat guru kami, Syaikhuna KH. Zuhrul Anam Hisyam. Beliau mengajarkan agar kita terlebih dahulu meneliti dalam ranah ilmu apa kita berbeda pendapat?
Menurut beliau, ilmu terbagi menjadi dua: ilmu kasbi dan ilmu wahbi, atau bisa disebut juga sebagai ilmu dirosah dan ilmu wirosah.
- Ilmu kasbi (ilmu dirosah) adalah ilmu yang diperoleh melalui usaha: belajar, mengaji, diskusi, membaca, dan sebagainya.
- Ilmu wahbi (ilmu wirosah), sebagaimana namanya, adalah ilmu yang tidak didapatkan melalui proses belajar biasa. Ia datang sebagai anugerah langsung dari Allah SWT, melalui perantara guru, bahkan bisa secara langsung tanpa perantara. Inilah yang masyhur dikenal sebagai ilmu laduni.
Mendapatkan ilmu wahbi merupakan suatu keistimewaan. Ia tidak bisa dicapai hanya dengan mencurahkan tenaga dan pikiran, tetapi merupakan pemberian Allah SWT yang khusus. Dalam hal ini, Syaikhuna KH. Zuhrul Anam Hisyam pernah meriwayatkan sebuah atsar:
مَا صَبَّ اللَّهُ فِي صَدْرِي شَيْئًا، إِلَّا وَقَدْ صَبَبْتُهُ فِي صَدْرِ أَبِي بَكْرٍ، إِلَّا النُّبُوَّةَ
“Tidaklah Allah mencurahkan sesuatu ke dalam dadaku, melainkan telah aku tuangkan pula ke dalam dada Abu Bakar, kecuali derajat kenabian.”
Ilmu yang diperoleh oleh Sayyidina Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ini adalah bentuk dari ilmu wahbi.
Syaikhuna menekankan bahwa menyelisihi guru dalam ranah ilmu wahbi/wirosah adalah hal yang tidak dibenarkan, sebab ilmu tersebut datang dari limpahan Ilahi, bukan semata-mata hasil logika atau analisa. Maka, dalam perbedaan pendapat, penting untuk membedakan, apakah perbedaan itu terjadi dalam wilayah usaha intelektual, atau dalam wilayah penerimaan ruhani yang bersifat ilhami?
Berbeda halnya dengan ilmu kasbi (ilmu dirosah) yaitu ilmu yang diperoleh melalui usaha belajar. Dalam ranah ini, berbeda pendapat dengan guru diperbolehkan. Banyak sekali contoh yang dapat disebutkan, seperti perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dengan gurunya, Imam Malik, atau antara Imam Ahmad dengan Imam Syafi’i.
Namun, sebelum mengambil langkah untuk berbeda pandangan dengan guru, sudah sepantasnya kita bercermin pada kapasitas diri. Layakkah kita? Apakah analisis dan argumentasi kita memang lebih kuat? Ataukah kita sekadar mengikuti hawa nafsu?
Meskipun perbedaan pendapat dalam bidang ini dibolehkan, bukan berarti kita bebas bersikap tanpa etika. Jangan sampai perbedaan pandangan membuat kita kehilangan rasa hormat kepada guru, karena memuliakan guru adalah perintah langsung dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam tradisi keilmuan Islam, kita sering menjumpai perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Bahkan, tidak jarang perbedaan itu terjadi antara guru dan murid, seperti antara Imam asy-Syafi’i (w. 204 H/820 M) dan muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M). Dalam dunia akademik Islam, perbedaan pandangan semacam ini merupakan hal yang wajar dan lumrah. Justru, perbedaan inilah yang menjadi salah satu motor penggerak perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Salah satu contoh perdebatan tersebut adalah mengenai hukum tartib (urutan) dalam berwudu. Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa tartib merupakan syarat sah wudu; artinya, anggota wudu harus dibasuh sesuai urutannya—dari wajah hingga kaki. Sebaliknya, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan tartib secara mutlak. Menurut mereka, tartib hanya sunnah, sehingga boleh saja mendahulukan membasuh tangan sebelum mengusap wajah.
Perbedaan seperti ini sangat lazim ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik, dan sama sekali tidak mengurangi kedalaman ilmu ataupun kualitas hubungan antara guru dan murid. Bahkan, antara Imam Malik dan Imam asy-Syafi’I yang merupakan guru dan murid terdapat sejumlah perbedaan pendapat dalam berbagai persoalan fikih.
Lebih dari itu, perbedaan yang terjadi sering kali justru menyisakan keteladanan luar biasa bagi generasi setelahnya. Salah satu contohnya adalah kisah Imam asy-Syafi’i saat berziarah ke makam gurunya, Imam Abu Hanifah. Selama lebih dari sepekan di sana, beliau mengisi waktunya dengan ibadah dan berulang kali mengkhatamkan Al-Qur’an, yang pahalanya ia hadiahkan untuk sang guru.
Menariknya, selama ziarah tersebut, Imam asy-Syafi’i tidak pernah membaca doa qunut dalam salat Subuh. Padahal, dalam mazhab Syafi’i, qunut disunnahkan setiap salat Subuh, sementara dalam mazhab Hanafi (mazhab Abu Hanifah), qunut tidak disunnahkan.
Salah satu murid Imam asy-Syafi’i kemudian bertanya kepadanya:
لماذا لم تقنت في مدة إقامتك في قبته؟
“Kenapa Anda tidak membaca doa qunut selama berada di pusara beliau (Imam Abu Hanifah)?”
Imam asy-Syafi’i menjawab:
لأن الإمام أبا حنيفة لا يقول بندب القنوت في صلاة الصبح، فتركته تأدبًا معه.
“Sebab Imam Abu Hanifah tidak menganjurkan qunut dalam salat Subuh, maka aku meninggalkannya sebagai bentuk penghormatan (adab) kepada beliau.”
Sikap Imam asy-Syafi’i ini menunjukkan bahwa meskipun berbeda pandangan dengan gurunya dalam banyak hal, ia tetap menjunjung tinggi etika dan rasa hormat. Ia tidak hanya menghormati gurunya semasa hidup, tapi juga setelah wafatnya.
Dari kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran berharga bahwa perbedaan pendapat antara guru dan murid adalah hal yang lumrah dalam tradisi keilmuan Islam. Namun, perbedaan tersebut harus selalu disertai dengan adab, penghormatan, dan ketulusan dalam menjaga hubungan keilmuan.
Penulis : Rojih Hibatulloh
Catatan :
Dawuh Syaikhuna dalam bahasa Jawa yang saya jadikan subjudul di atas sekaligus menjadi dasar utama penulisan artikel ini, disampaikan oleh beliau pada tanggal 7 Mei 2025 dalam kajian kitab Audhohul Masalik karya Imam Ibnu Hisyam al-Anshari. Dawuh tersebut beliau sampaikan sebagai bentuk motivasi agar para mahasantri Ma’had Aly Andalusia lebih bersungguh-sungguh dalam mengaji serta menghormati ilmu dan para pemilik ilmu, dengan harapan hati mereka dibukakan oleh Allah SWT.
artikel lainnya
Tinggalkan Balasan